Mengapa Saya Pindah dari Bali ke Jakarta

Sudah lebih dari setahun sejak saya menulis artikel “Bagaimana Hidup di Bali Lebih Murah Daripada Jakarta“. Tidak terasa pula, hari ini sudah lewat hampir 3 tahun sejak saya pindah ke Jakarta. Jadi tampaknya sudah saatnya saya mengingat kembali mengapa saya pindah ke Jakarta dari Bali.


Cheers! by @lowrobb

Saya bukan orang pertama yang pindah dari Bali ke Jakarta, dan sebaliknya. Jadi, jika Anda punya hubungan dengan orang yang berhubungan dengan Bali dan Jakarta, kemungkinan besar Anda sudah mendengar banyak bagian dari cerita ini.


#love by @lowrobb

Bali dari sudut pandang saya, bisa disimpulkan dalam beberapa paragraf di bawah ini:

  • Bali itu hidup. Pulau kecil yang membawa saya ke sebuah level kesadaran diri baru. Pelajaran menghormati orang murni tanpa mengenal latar belakang pendidikan, agama dan keluarga.
  • Bali itu keluarga. Saya membangun keluarga saya berawal disana. Semua yang sudah pernah merasakan membangun keluarga paham betapa sulitnya. Kami berhasil melewati 5 tahun pertama disana. Tidak mudah, tapi kami selamat. Karena iklim Bali yang sangat mendukung.
  • Bali itu sederhana. Orang yang bilang #bahagiaitusederhana belum benar-benar mengerti artinya jika belum pernah tinggal di Bali dan merasa bahagia hidup di tengah kesederhanaan.
  • Bali itu desa. Banyak yang tidak tahu kalau kotamadya di propinsi Bali hanya 1: Denpasar. Sisanya? Desa. Kuta? Desa, tapi internasional. Ubud? Desa internasional. Legian? Desa internasional.
  • Bali itu kecil. Seperti keluarga muda yang tinggal di kamar kost, kemanapun pergi ketemunya dia lagi dia lagi. Komunitas di Bali seperti itu.
  • Bali itu pelan. Pernah dengar ungkapan “Bule aja telat”? Kemungkinan besar hanya terjadi di Bali.

Masih banyak lagi. Tapi dari 6 poin diatas, saya sudah bisa menarik kesimpulan. Bali terlalu enak untuk menjadi tempat tinggal di umur produktif. Yang mengkhawatirkan adalah, saya jadi kehilangan urgensi.

Ilustrasinya gini:

  • Di Bali, saya pernah lupa mengunci pintu belakang mobil saya selama kurang lebih 6 bulan. Tidak ada yang hilang. Di Jakarta, meski sudah pakai kunci otomatis pun pintu masih di cek, siapa tahu ada pintu yang masih belum terkunci.
  • Di Bali, saya tidak pernah perduli markir motor dimana, karena tidak akan hilang. Di Jakarta, di depan kantor saya aja sudah pernah ada karyawan kehilangan motor.

You get my point?

Semakin lama saya tinggal di Bali semakin saya tidak awas. Saya kehilangan naluri kompetitif yang menjadi salah satu kepribadian dasar saya. It’s not Bali, it’s me. Saya yang ingin membunuh semua itu dengan pindah ke Bali. Tapi setelah mati, saya malah merasa kehilangan. Mungkin memang belum waktunya.

Jadi saya pindah bukan karena Jakarta lebih baik dari Bali. Hanya orang gila yang membandingkan kualitas hidup di ibukota negara dengan sebuah pulau tempat berlibur. Tapi saat ini saya perlu menurunkan kualitas hidup saya untuk meningkatkan naluri normal saya: serakah, ambisi dan hasrat berkompetisi.

Setiap inget Bali, saya selalu berpikir betapa beruntungnya hidup saya karena pernah tinggal disana. One of the most beautiful place on earth. Tinggal di Jakarta itu berat. Hingga hari ini saya tidak juga terbiasa dengan macet. Mungkin tidak akan pernah terbiasa. Ya bagus dong, berarti standar saya tetap tinggi. 

But I like it here, as it’s not always doom and gloom. Jakarta is the city for me. At least for now.

Author: Robin

Jack of all trades living in SF Bay Area, California. Asian.

0 thoughts on “Mengapa Saya Pindah dari Bali ke Jakarta”

  1. Saya sependapat.. karena saya sekarang sedang merasakannya.. yang terbiasa enak hidup di bali jd lupa dengan kualitas diri sendiri.. artikel yang sangat bagus.. keep spirit ya bro.. wish u luck

  2. masuk artikel ini karna saya ada rencana pindah ke Bali, btw lanjutan blognya soal pindah ke Bandung belom ada nih bang.

    Saya dulu pernah ikutan unresolved di wijaya 🙂

    1. Halo Roy, iya saya ingat kamu. Apa kabar? Saya gak pindah ke Bandung, tapi ke Lembang. Hehe. Tapi memang gak saya tulis sih kenapa.

  3. Lucu, ya, saya baru kali ini tahu ada orang yang menggambarkan “naluri normal”-nya sebagai “serakah, ambisi dan hasrat berkompetisi”. “Serakah”, sih, yang paling mengherankan saya. ☺

    1. Kalau semua orang jujur, mungkin lebih banyak orang yang menyatakan dirinya serakah dari yang tidak. 🙂

  4. Bener. Syaa dari kecil hidup di bali, dan ngerasain hidup yang enak ya. Gak takut maling, karna emang jarang terjadi pencurian, enak lah pkoknya. Makanya kualitas diri saya rendah (dalam berhati2, ingin berkompetisi, dan belum menghadapi kerasnya hidup) . Ya bali itu damai. Tidak keras. Tp saya bersukur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *