Musik di Era Digital

Cover1

Dibawah ini adalah materi sharing saya semalam, di Obsat. Beberapa teman bilang saya terlalu serius. Gapapa deh. Persoalannya, Era Digital adalah masalah serius. Jadi, saya ngga bisa nahan untuk bikin presentasi serius. Jadi ya sudahlah. Silahkan membaca, semoga berguna.

Jadi, akhirnya saya membuat presentasi khusus untuk Obsat. Tujuannya untuk menyampaikan gambaran tentang Era Digital yang sedang terjadi saat ini, dan apa hubungannya dan pengaruhnya kepada industri musik, terutama industri rekaman. Sayangnya, ketika saya diminta untuk memberikan referensi data dan contoh kasus sukses di Indonesia, saya kesulitan. Mengapa? Saya tidak bisa berpura-pura bilang, kalau di Indonesia musik di era digital sudah sukses dan berjalan dengan baik. Sebaliknya, menurut saya kita belum melakukan apa-apa. Mudah-mudahan saya salah, karena jika benar, hmmm…. ngga berani ngebayangin.

Dua Fakta

Saya ingin memulai dengan menyampaikan 2 fakta. Fakta yang pertama, adalah, sekarang ini kita sedang berada di sebuah era yang bernama Era Digital. Tidak ada tempat untuk bersembunyi. Meskipun Anda ngumpet, di hutan yang terpencil, tidak ada sinyal, tidak ada listrik sekalipun untuk… misalnya bermain gitar senar nylon, anda tetap sedang bermain musik… di Era Digital.

Fakta kedua adalah Musik = Komersil. Musik dan Komersil bisa berada di 1 kata, dalam hampir semua konteks. Tanpa sisi komersil, musik tidak akan bertahan, bahkan mungkin tidak ada. Coba bayangkan, apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini:

Siapa yang bayar produksi piano? Jika piano sudah dibuat, lantas siapa yang beli?”

“Siapa yang bayarin produksi album? Lantas, jika album sudah diproduksi, bagaimana mengembalikan biaya produksi? Jika dijual, siapa yang beli?.”

Jika Musik dan sisi Komersil saling bergantung dan saling mengisi, lalu mengapa sering sekali ada konflik antara Musik sebagai ‘seni’ dan sisi Komersilnya? Ok. Setahu saya, musik tidak pernah konflik dengan sisi komersil. Justru saling membantu. Yang konflik itu orang-orang nya, pelakunya, stakeholder nya. Musisinya bodoh, label-nya serakah, publisher-nya ngga ngerti keadaan, media nya sok tau, dan seterusnya (ngga selamanya begitu ya, saya hanya ingin memberikan perspektif).

Nah. Sekarang yang sedang kita hadapi adalah Musik Komersil di Era Digital. Seperti musisi tidak usah takut dengan apa yang disebut sebagai ‘Bisnis’ atau ‘Komersil’, musisi juga jangan takut dengan ‘Era Digital’. Justru, ini adalah era yang paling menyenangkan untuk musik komersil. Mengapa? Silahkan lanjutkan membaca.

Lima Era Media

Sedikit mundur ke belakang untuk menyamakan persepsi, sebenarnya kita sudah mengalami beberapa kali perubahan era Media. Menurut teori, kita sedang berada di Era ke 5. Sebagai manusia, kita pun berubah karena perubahan era media. Media itu, adalah ciptaan kita sendiri, seperti quote dari Marshall McLuhan: “We shape our tools and thereafter our tools shape us”.

Berikut sekilas era-era tersebut:

5-Ages1

1. Oral Age.
Di era ini, seluruh bentuk komunikasi dilakukan secara lisan.

2. Scribal Age.
Adalah era tulisan. Untuk memperbanyak buku, orang menyadur kata demi kata dari sebuah buku menggunakan tulisan tangan. Di era ini pula Perpustakaan Alexandria dibakar, dan manusia kehilangan sebagian besar sejarah kuno.

3. Print Age.
Di era ini, musik pertama kalinya menjadi industri, yaitu industri Sheet Music. Orang bisa beli buku berisi not balok, agar mereka bisa memainkan musik (cover song) di rumah masing-masing dengan piano butut.

4. Electric Age.
Di era ini, industri musik berubah total. Industri rekaman dan broadcasting menggantikan industri sheet music untuk menjadi primadona di industri musik.

5. Digital Age
Sekarang. Exciting times.

Perpindahan Jaman

Ratio-Shift

Sebagai akibat dari pergantian era, maka selalu ada yang dinamakan The Ratio Shift. Jadi industri bergeser, seperti misalnya Sheet Music menjadi Recording dan Broadcasting. Sayangnya, yang sering menjadi headline di media adalah, “This is THE DEATH OF bla bla bla…”. Padahal tidak juga. Menyesatkan. Yang terjadi adalah perpindahan cara, gaya orang berpikir, cara berkomunikasi dan cara orang mengkonsumsi. Dalam hal ini, cara orang menemukan, membeli dan mengkonsumsi musik pun berubah.

Sejarah, Latar Belakang, Nostalgia (and all that crap)

Rear-View

Ketika dihadapkan dengan sesuatu yang baru, orang cenderung malah melihat ke masa lalu. Ini adalah apa yang disebut Marshall Mc Luhan sebagai Rear View Mirror Effect. Ketika dihadapkan dengan era digital, musisi malah membanding-bandingkan jaman kaset lebih bagus dari jaman CD, jaman CD lebih bagus dari jaman iPod, dan seterusnya. Dalam konteks era digital, kebiasaan seperti ini seringkali membuat kita takut untuk mengerti teknologi secara komprehensif.

Pertanyaannya sekarang, apakah industri musik akan berubah lagi, seperti berubah dari sheet music ke recording dan broadcasting? Untuk mengetahui jawaban pertanyaan tersebut, kita punya 2 pilihan, yaitu (1) Menunggu, (2) Berbuat sesuatu. Menurut logika ekonomi sederhana saya, pilihan nomor 2 adalah pilihan yang termudah dan termurah.

Caranya?

Begini. Secara mendasar, yang harus dimengerti adalah GO NATIVE. Setiap era, ‘native’-nya berubah. Ngga sekedar ‘merubah media untuk promosi musik’ dari media tradisional ke media digital. Berikut contohnya:

Go-Native

Dari contoh diatas, bisa dilihat bahwa Kickstarter tercipta bukan dengan sekedar memindahkan cara tradisional (few big investors) ke web dengan cara membuat website untuk mencari investor. Tetapi mereka membuat website dimana orang bisa mengumpulkan modal bisnis dengan cara mencari pemodal-pemodal yang jumlahnya banyak yang ada di internet.

Jadi, yang paling penting, mengerti perilaku orang di era digital dulu, baru membuat program untuk memecahkan masalah. Singkat kata, mengerti bahwa rimba digital itu berbeda sangat krusial. Kalau boleh memberi saran, jangan membuat rencana pemasaran digital apapun sebelum mengerti hal ini.

Menjalankan kegiatan native digital ini lagi-lagi bukan the death of anything, tetapi permasalahan mengerti cara-cara baru. Dalam konteks industri musik, sampai hari ini, kita kan masih bisa beli not balok atau tablatur di toko (meski susah nyarinya)?

Jangan takut dan merasa ‘tidak mengerti teknologi’. Ini sebenarnya tidak seperti belajar keahlian khusus yang rumit. Kamu ngga usah mengerti kode php dan html untuk mengerti perilaku digital, meski keahlian tersebut akan sangat membantu kamu mengarungi rimba digital. Coba bayangkan analogi ini. Ingat waktu belajar nyupir mobil? Saat kamu pertama kali melihat mobil, mungkin kamu bingung melihat setir, jok, persneling, dan segala teknologi yang ada di dashboard. Setelah mulai belajar dan akhirnya menggunakan mobil sehari-hari, maka segala teknologi itu sudah ‘hilang’, tidak terasa lagi seperti teknologi yang membingungkan dan tidak bisa dimengerti. Saat sudah terbiasa, mengendarai mobil sudah bukan masalah teknologi lagi, tetapi sebuah kegiatan yang kamu lakukan sehari-hari. Seperti itu pula teknologi internet.

Paradoks Inovasi Musik

Paradoks

Ini ada paradoks, yang lucu. Ada hasil riset, yang menemukan bahwa insinyur-insiyur yang paling hebat di Silicon Valley, hampir tidak terkecuali, adalah orang-orang yang bermain alat musik secara aktif. Sementara itu, ada fakta lainnya, bahwa Inovasi di industri musik tidak pernah datang dari perusahaan musik, tetapi malah dari perusahaan teknologi (yang isinya malah orang teknologi, yang sering dituding oleh industri rekaman musik sebagai para pencipta file sharing culture yang melahirkan pembajakan).

Model Bisnis

Jadi, model bisnis apa yang cocok di era digital? Disinilah menariknya, tidak ada 1 pola yang menjamin sebuah musik atau institusi musik itu sukses. Seperti jaman dulu, kalau band mau jadi musisi sukses komersil, maka biasanya dimulai dengan membuat demo dan menawarkannya ke perusahaan-perusahaan rekaman. Ketika mereka mendapat kontrak rekaman, maka mereka bisa mendapat publikasi, tour dan lain sebagainya. Jaman digital? Ngga selalu begitu. Berapa banyak band di Indonesia yang bisa menjual 10.000 keping? 100.000? 1.000.000? Boro-boro.

Tapi, jaman digital ini justru menghasilkan kreatifitas yang luar biasa dari orang yang terlibat di bisnis musik. Karena, musik sekarang dinikmati oleh lebih banyak orang di dunia daripada jaman sebelumnya. Buktinya? Hmm… coba liat beberapa angka ini: iTunes 10 milyar download, download torrent lewat Mininova mencapai 7 miliar setiap tahun, angka download game Angry Birds mencapai 500 juta (10 kali lipat penjualan album Pink Floyd “Dark Side of The Moon” dan Michael Jackson “Thriller”). Sementara itu, dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta, ada 210 juta pelanggan layanan handphone (berarti tidak hanya 1 orang punya 1 nomer handphone, tapi ada orang punya beberapa).

Akses

easy-is-killing-free

Ada sebuah wacana dasar, yaitu Easy is Killing Free. Intinya adalah bagaimana orang kok bisa lebih mudah untuk beli lagu di iTunes, daripada search di Google dan download gratis? Ini sering saya diskusikan dengan rekan-rekan geek dan programmer. Dan sebenarnya, mereka sudah punya banyak ide. Apa saja yang bisa dilakukan kaum teknologi untuk membuat menjual lagu/konten itu mudah? Jika ditemukan, akan sangat membantu musisi ataupun entrepreneur musik untuk menemukan model bisnis baru.

Ini ada sebuah model mendasar lain, yaitu Connect With Fans then give the Reason To Buy. Contoh connect with fans? Be awesome.

Contoh-contoh lain:

Spotify – streaming. Bahkan Torrent Freak menyebutnya sebagai alternatif dari pembajakan musik. Relevan.
Bandcamp – variable pricing. Jadi boleh beli lagu dengan harga minimum sekian… atau bayar lebih. Konon hasilnya 50% fans beli lebih dari minimum price yang ditawarkan.
Microgiving – ini banyak digunakan musisi untuk mencari dana.
Masih banyak lagi yang sebenarnya bisa di share, tapi untuk membicarakan digital tidak cukup hanya sekali. Kabar baiknya, Widi, Adib, Aulia dan Ario mau memprakarsai lanjutan diskusi ini. Hayu atuh? 😀

Yang pasti panggung digital masih kosong, ayo siapa yang mau isi?

Stage

Sumber literatur dan bacaan lanjutan:

Author: Robin

Jack of all trades living in SF Bay Area, California. Asian.

0 thoughts on “Musik di Era Digital”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *