Iya! Saya Marah ke Ripple Magazine!

Di wawancara Iyo (Pure Saturday, budak baong) oleh Rekti (The SIGIT) di majalah Rolling Stone ada bagian yang membicaraan majalah Ripple tentang mengapa saya marah ke Ripple Magazine. Memang bisa saja saya diam dan pura-pura setuju. Tapi berarti saya dan mereka sama-sama salah.

Di wawancara Iyo (Pure Saturday, budak baong) oleh Rekti (The SIGIT) di majalah Rolling Stone ada bagian yang membicaraan majalah Ripple:

Ini dilemanya gila-gilaan. Butuh uang tapi yang mau beriklan tai banget. Gue dan Dendy dulu sangat mementingkan estetika dan esensi majalahnya. Sampai akhirnya beberapa bulan atau tahun setelah itu kami memutuskan, ”Sudahlah, masukkan saja iklannya.” Istilahnya, di majalah Thrasher ada juga merek yang norak. Dan kejadian, begitu ada iklan, jebret! Robin (Malau, gitaris Puppen), datang ke kantor kami dan marah-marah. ”Elo nggak boleh gitu, nanti majalah elo nggak cool lagi”. Walaupun kami agak bingung, atas dasar apa dia marah-marah?

Memang bisa saja saya diam dan pura-pura setuju. Tapi berarti saya dan mereka sama-sama salah.

Saya ingat waktu itu melihat majalah Ripple, salah satu majalah yang harus dilestarikan karena pengelolaan brand-nya ‘benar’, tiba-tiba dipasangi banyak iklan butut. Kemudian saya ingat kebetulan sore itu ke toko 347 di Trunojoyo (saat itu toko sedang renovasi, Dendi sempat memamerkan dekorasi toko barunya) untuk bertemu Ade Muslim (Alm) untuk membicarakan soal projek kami di Four Dischord Live Recording Harvest. Disitu kebetulan juga ada Dendi Darman dan Luki “Masluk”, yang langsung saya damprat (maaf ngga basa-basi, abis kesel!).

Alasan saya marah-marah adalah, kenapa majalah sekeren Ripple musti dipasangi iklan butut semua?

Thrasher memang ada iklan butut, tapi bukan iklan butut semua. Itu masalahnya. Akhirnya, saya tidak diam dan hanya komplen saja kok.

Kebetulan anak Bandung yang punya akses ke Bali ke surf industry (begitu perusahaan seperti Billabong, Quiksilver, dan lain-lain biasa disebut) waktu itu adalah saya, karena afiliasi band saya Puppen dengan perusahaan Volcom. Maka saya bawa anak-anak Ripple ke Bali dan saya kenalkan ke industri. Yang ikut kesana adalah Ade, Dendi, Iyo. Orang yang pertama saya kenalkan adalah Ratna, Sales & Marketing Manager dari Reef Indonesia. Karena Ripple itu one of a kind, dan merek butuh majalah yang mengerti brand mereka, seperti perkiraan saya, team Ripple disambut baik di Bali.

Sejak itu ada merk Reef, Rip Curl, dan perusahaan-perusahaan sejenis pasang iklan di Ripple. Jadinya balance, ngga hanya iklan butut yang ada di Ripple. Ada perusahaan bonafit yang bikin majalah Ripple tetap cool.

Akhirnya kemudian Robin datang dan bekerja dengan kami, bahkan rela bekerja tanpa dibayar.

Jelas. Saya cinta majalah Ripple. Saya tidak akan membiarkan majalah tersebut jadi majalah sampah hanya karena butuh uang untuk operasi. Saya bahkan mau bekerja tanpa dibayar kok! Jadi Culture Editor! 😀

Ripple is dead, long live Ripple! m/

Author: Robin

Jack of all trades living in SF Bay Area, California. Asian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *