Tentang Spotify dan Netflix

dont-stop-the-music

Saya tergelitik membaca artikel ini, “Has music missed its ‘Netflix moment’?“. Sekarang ini memang sedang panas dibicarakan, tentang seharusnya layanan streaming musik “mengikuti” langkah Netflix yang berhasil menguangkan pelanggannya. Sayangnya tidak semudah itu.

Netflix punya 62 juta pelanggan, hampir sama dengan Spotify yang punya 60 juta (per announcement bulan Januari 2015). Tapi 97% pengguna Netflix adalah pengguna berbayar, dibanding Spotify yang hanya 25%-nya. Netflix tidak memberikan layer pengguna gratis, Spotify ada (ini yang bikin mereka berselisih paham dengan Thom Yorke, Bjork, dan Taylor Swift, dan musisi lainnya).

Dari artikel di atas:

“Yet to simply pin the fact that Netflix is a more profitable company than Spotify on the idea it charges consumers to access its service – a hot topic in the music industry right now – would be irresponsible.”

Benar. Tidak bertanggung jawab.

Hipotesa “seharusnya musik juga bikin seperti Netflix” memang belum teruji, karena setidaknya ada 3 faktor yang membedakan:

1. Sewa vs Beli

Upaya Netflix adalah memindahkan pelanggannya yang dasarnya adalah penyewa DVD. Sementara itu, Spotify kesulitan mempromosikan budaya ‘sewa’ di musik karena selama ini konsumen musik sudah dibiasakan dengan ilusi ‘beli’ sejak jaman fisik.

Ilusi dalam hal ini adalah, kita hanya bisa beli fisiknya, isinya (lagu) tidak jadi milik kita. Jadi sejak dulu kita tidak pernah ‘membeli’ musik, tapi ‘membeli akses’ agar kita bisa mendengarkan musik. Sekarang, seolah menyewa musik adalah budaya baru. Padahal sejak dulu kita ini hanya menyewa.

2. Era Keemasan CD and model pay per Download

Industri rekaman (dan Apple) menolak untuk membawa konsumen musik agar mau membayar streaming. Hal ini mereka lakukan untuk memaksimalkan masa emas CD dan pay per download. Saat angka download sudah turun dan berpindah ke streaming, bahkan sekarang pemasukan dari digital sudah melebihi penjualan CD, baru mereka masuk.

Apple akan launch Beats Music, sebuah layanan streaming musik,  sementara itu major label beramai-ramai mengakuisisi layanan streaming. Ditengah-tengah gejolak ini, konsumen keburu banyak yang berubah ke illegal downloading dan alternatif lainnya.

3. Penggunaan Mobile

Pelanggan Netflix menggunakannya di rumah dengan model langganan internet unlimited sementara itu Spotify dan layanan streaming musik menggunakan di mobile. Kendala di mobile adalah pulsa, karena telco menjual paket koneksi yang terbatas. Jadi kalau mau dengarkan lagu lewat streaming, pengguna “harus punya pulsa”, dan hal tersebut menjadi kendala.

Kesimpulan

Jadi keadaannya tidak sama. Dan streaming gratis, seperti yang ditawarkan Spotify dan layanan streaming musik lainnya (selain akun berbayar) masih akan jadi perdebatan.

Terlihat bahwa perjalanan layanan streaming masih panjang. Meskipun demikian, semua gejala menunjukkan bahwa streaming akan menjadi media paling massal yang akan digunakan orang untuk mengkonsumsi musik di masa depan.

Tinggal dari industrinya sendiri, kapan mau membuat media yang paling native di era digital ini bisa dinikmati oleh banyak pelanggan.

Sumber gambar: Blixt (CC BY-NC-SA 2.0)

Author: Robin

Jack of all trades living in SF Bay Area, California. Asian.

2 thoughts on “Tentang Spotify dan Netflix”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *