Ketika Musik Tidak Menggigit Tapi Bisa Menyalak

bark

Pengaruh musik terhadap sosial, budaya dan politik semakin kencang dan semakin jelas terlihat. Musisi dapat menghasilkan follower social media lebih banyak daripada bintang film, politisi bahkan talk show anchor. Coba ingat lagi ketika Anda melangkah masuk masuk ke sebuah cafe, hampir setiap kali langsung mendengar ada lantunan musik dari speaker. Coba juga lihat bagaimana anak muda, brand, hingga politisi, ingin diasosiasikan dengan merk musik tertentu.

Jika menyalak bisa mengusir maling, mengapa disuruh menggigit?

Meskipun demikian, penjualan musik di seluruh dunia tidak sebanding dengan popularitas musik itu sendiri. Penjualan terus turun dan kemudian stagnan selama lebih dari 10 tahun terakhir. Jadi seperti anjing yang gonggongannya terdengar sampai ke seluruh RT, tapi tidak bisa menggigit.

Industri ini juga menelan korban yang cukup besar. Terakhir, Rdio tutup. Bahkan MixRadio saja, yang pernah dimiliki raksasa teknologi seperti Nokia dan Microsoft ditutup oleh pemiliknya, LINE. Di Indonesia, industri musik (maksudnya industri rekaman) hanya bisa menghasilkan 1% dari total penghasilan industri kreatif, yang berkontribusi 8% pada gross domestic product Republik Indonesia (BPS, 2013). Kecil sekali, padahal musik bisa didengar dimana-mana. Meski fenomenanya berbeda, tetapi ini seaneh “bagaimana mayoritas penduduk Indonesia makan nasi, tapi petani kok miskin”?

Logikanya, untuk menaikkan menjadi 2% saja (berarti sudah naik 100%), seberapa banyak upaya yang harus dilakukan stakeholder seperti musisi, komunitas, industri, institusi pendidikan dan pemerintah? Pertanyaannya adalah, apakah memungkinkan? Jika memang mungkin, pertanyaan berikutnya adalah, apakah layak? Berapa biayanya? Tentunya biaya yang harus dihitung bukan hanya uang, tetapi juga biaya sosial dan politik untuk mewujudkannya.

Jadi, kenapa tidak bikin yang baru saja sekalian?

Model Hak Cipta yang Tidak Relevan Lagi

Untuk perusahaan di luar industri musik, semakin ke sini semakin lengkap alasan untuk menjauhi wilayah bisnis musik yang berbasis rekaman. Salah satu penyebabnya masalah licensing yang rumit. Coba saja tanya orang yang memulai bisnis musik streaming, bagaimana mereka bisa (sebagian besar tidak mampu menembus) akhirnya bekerjasama dengan label, aggregator dan publisher. Lihat well-funded startup seperti SoundCloud harus berdarah-darah dulu sampai akhirnya bisa bekerjasama dengan Universal Music Group dan berhasil menyelesaikan upaya tuntutan hukum dari lembaga manajemen kolektif PRS for Music. Salah satu “kemenangan besar” industri rekaman adalah ketika Grooveshark ditutup, setelah tidak kuat lagi melawan tuntutan-tuntutan hukum karena menyebarkan lagu ilegal. Bahkan pendirinya ditemukan mati tanpa sebab yang jelas tak lama kemudian.

Coba kita lihat juga nanti seberapa banyak konflik dan peluang berkembangnya premanisme dan korupsi ketika pemerintah mulai memaksakan, karena didesak banyak pihak, untuk mengimplementasikan undang-undang hak cipta tanpa pernah mampu bisa menjelaskan mengapa orang harus membayar untuk mendengarkan musik, jika musik bisa didapatkan gratis lewat media lain.

Model hak cipta, yang dulu adalah penjaga utama hak para pencipta dan penampil, sekarang malah lebih sering menjadi penghalang.

Catatan: Saya tidak anti hak cipta. Saya sampai menghabiskan semua harta saya untuk ikut memperjuangkan hak cipta beberapa ratus musisi Indonesia di ranah digital tiga tahun terakhir.

1%

Ada golongan kecil orang yang masuk kategori 1%, yang bisa menjual lagu dan hidup layak di industri musik berbasis rekaman. Mereka adalah artis-artis yang kita lihat ada di media setiap hari. Sekarang pertanyaannya adalah, ada berapa Taylor Swift di dunia? 1. Ada berapa Adele di dunia? 1. Ada berapa Justin Bieber di dunia? 1. Sementara itu di Indonesia, ada berapa Tulus? 1. Ada berapa Noah? Jawabannya sama: 1. Mereka adalah top 1% artis yang menguasai 77% penghasilan seluruh artis di dunia. Berapa besar peluang Anda menjadi seperti mereka? Hampir tidak ada.

Saya ingat waktu masih jadi musisi aktif, kadang membandingkan dengan sahabat-sahabat saya di band Koil yang jarang sekali diundang manggung (dibanding dengan band saya yang manggung setiap minggu, misalnya). Beberapa belas tahun kemudian, band saya sudah lama bubar, sementara itu Otong dan Koil malah punya aset kekayaan yang 99% musisi di Indonesia tidak mampu beli. Koil membuat bisnis model sendiri, yang bisa berhasil untuk mereka. Ternyata, Koil juga adalah termasuk 1%, tapi di dunianya sendiri.

Jangan-jangan kita sebenarnya melihat sebuah model bisnis yang efektif pada Koil, tapi malah terjebak untuk mencari penyebab mengapa Koil jarang manggung. Hanya karena kita percaya dengan definisi usang, “musisi adalah orang yang mencipta lagu dan ditanggap”.

Bagaimana Dengan Menjadi Pelari Profesional?

Mencipta lagu hingga menjadi penampil tetap akan menjadi jati diri musisi yang paling mendasar. Tapi, bukan berarti mutlak harus menjadi penopang hidup. Di era sekarang, semakin banyak peluang yang muncul, karena musik terekspos lebih luas dibanding era-era sebelumnya pada sejarah umat manusia.

Argumentasi saya, sekarang adalah saat yang paling tepat untuk menjadi musisi yang idealis dan menjadi merk yang otentik. Mengapa? Musisi itu kan sebenarnya penampil, bukan penghibur. Tetapi kita di-downgrade oleh industri, termasuk media, sehingga musisi disebut sebagai penghibur. Sampai-sampai kita harus kompromi menyanyikan lagu cinta, hanya untuk bisa menghibur dan menjual album rekaman. Sekarang, mau jualan lagu cinta juga susah, jadi buat apa lagi berkompromi? Musisi sudah tidak bisa kehilangan apa-apa lagi, karena sudah kehilangan segalanya.

Kalau tidak percaya, ya terserah lah, silahkan dicoba dan membuang waktu. Strategi “coba-coba padahal udah jelas bakal gagal” tersebut melawan nurani saya yang mendapat pendidikan bisnis formal. Seperti kata Peter Drucker:

There is nothing so useless as doing efficiently that which should not be done at all.

Jadi tidak ada jalan lain selain jeli mencari kelebihan Anda dulu. Sesudah ketemu, fokus untuk mengembangkannya. Jika Anda bisa menyalak dengan nyaring, maka jadilah penyalak yang profesional. Jika Anda bisa berlari sangat kencang, mengapa tidak menjadi pelari saja? Tidak semua anjing kelebihannya adalah kemampuan menggigit.

Gambar: Lianne Viau (CC BY-ND 2.0).

Author: Robin

Jack of all trades living in SF Bay Area, California. Asian.

5 thoughts on “Ketika Musik Tidak Menggigit Tapi Bisa Menyalak”

  1. Terimakasih kang robin utk artikelnya. Cukup bermanfaat buat saya yg sampai saat ini hanya bisa menjadi pendengar musik. Apa mungkin artikel ini bisa memicu saya jadi bagian lain di dunia musik? We’ll serta..

    1. Senang sekali jika artikelnya bermanfaat, Arif. Yang pasti dunia musik butuh orang di luar musik untuk berkembang. Kalau tidak nanti asik sendiri dan tidak menghasilkan apa-apa yang berguna untuk masyarakat. 🙂

    2. Maaf kang typo. Maksud saya we’ll seee..

      Mohon izin share artikel ini ya kang..

      1. No problem. Disarankan tidak copy paste tulisannya, tapi silahkan sebar link-nya agar sumbernya tidak terputus dan wacananya bisa berkembang. Banyak yang suka copy artikelnya, terus diskusinya jadi gak berkembang karena yang meng-copy tidak bisa berargumen. Akhirnya jadi tidak berguna. Sayang banget.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *